Lingkaran Konsentris Politik Luar Negeri Indonesia dan Faktor Determinannya
Dalam mencapai kepentingan nasionalnya, Republik Indonesia telah menetapkan Politik Luar Negerinya yang berbasis pada prinsip bebas-aktif. Seperti yang kita ketahui, Wicaksana (2013) menjelaskan bahwa bebas artinya Indonesia bebas dari dikte negara-negarasuperpower, dan bebas memilih untuk berhubungan dan memihak siapapun sesuai dengan kepentingan nasional. Sementara, yang dimaksud dengan aktif ialah Indonesia harus mampu menjadi subjek internasional yang aktif dalam tatanan internasional. Dalam menjalankan prinsipnya ini, Politik Luar Negeri Indonesia juga mengaplikasikan lingkaran konsentris Politik Luar Negeri yang menjadi strategi Indonesia untuk meraih kepentingan nasionalnya melalui aktivitasnya dengan aktor-aktor di wilayah tertentu, seperti negara dan organisasi internasional. Sementara, terdapat pula beberapa faktor determinan yang mempengaruhi pengaplikasian Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Untuk itu, penulis akan memaparkan apa itu lingkaran konsentris yang dianut oleh Politik Luar Negeri Republik Indonesia beserta dengan faktor determinan pengaplikasiannya.
Lingkaran Konsentris Politik Luar Negeri Indonesia
Secara bahasa, lingkaran konsentris sendiri didefinisikan sebagai dua lingkaran atau lebih yang memiliki pusat yang sama. Lingkaran-lingkaran ini kemudian mengindikasikan prioritas kepentingan aktivitas diplomatik Republik Indonesia dengan negara dalam lingkungan internasional. Artinya, Indonesia yang mengacu pada lingkaran konsentris memiliki target-target dengan skala prioritas yang berbeda yang dianggap mampu memudahkan Indonesia untuk mencapai kepentingannya. Singkatnya, lingkaran konsentris merupakan pembagian regional hubungan luar negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang mampu menjadi acuan Indonesia untuk melakukan hubungan internasional. Lingkaran konsentris sendiri merupakan istilah yang dicetuskan pertama kali oleh Ali Alatas, yakni mantan Menteri Luar Negeri Indonesia pada masa presiden Soeharto, yang merujuk pada instrumen yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah internasional, serta untuk menempatkan posisi Indonesia dalam menghadapi masalah internasional (Zulfikar, 2009). Terdapat tiga dimensi yang digunakan dalam lingkaran konsentris ini menurut Zulfikar (2009), yang pertama ialah dimensi regional yang berkaitan dengan letak geografis Indonesia, selanjutnya ialah dimensi organisasional yang merujuk pada posisi Indonesia dalam tatanan internasional, dan terakhir ialah dimensi fungsional yang berupa peran Indonesia dalam tatanan internasional.
Dalam membentuk lingkaran konsentris Politik Luar Negeri Indonesia, maka letak wilayah geografis, ideologi, ekonomi, politik, dan keamanan menjadi dasar-dasar yang mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dan aktivitas Politik Luar Negeri Indonesianya (Hanzel, 2013). Berdasarkan letak wilayahnya, Indonesia memprioritaskan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara terdekat. Sebagai negara yang terletak di Asia Tenggara, maka Indonesia akan melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nations). Dengan adanya hubungan diplomatik tersebut, Indonesia dianggap mampu bergabung dalam kekuatan regional yang saling bekerjasama untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara. Selanjutnya, Indonesia juga dapat melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara yang memiliki ideologi yang sama dengan Indonesia. Misalnya saja pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno gencar melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia-Afrika yang dinilai sama-sama anti-kolonialisme. Dengan berhubungan dengan negara-negara yang memiliki ideologi yang sama, maka akan semakin mudah bagi Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yang pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia gencar melakukan aktivitas internasional guna menjadi pemimpin negara Asia Afrika (Suryadinata, 1998:12). Ekonomi juga menjadi alasan utama dilakukannya hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti halnya Indonesia yang melakukan hubungan diplomatik dengan Cina dan Amerika Serikat untuk bekerjasama dalam bidang ekonomi. Stabilitas politik dan keamanan selanjutnya juga menentukan hubungan luar negeri Indonesia karena pada dasarnya setiap negara akan memprioritaskan hubungan luar negeri dengan negara yang stabil secara keamanan dan politik.
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, dalam Kebijakan Kerjasama Regional (deplu.go.id, diakses pada 16 Oktober 2013) menyatakan bahwa lingkaran konsentris pertama yang paling diprioritaskan ialah aktivitas diplomatik Indonesia dalam ASEAN. Disebutkan pula bahwa ASEAN merupakan pilar utama bagi Indonesia untuk menjalankan politik luar negerinya. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu negara yang memprakarsai dibentuknya ASEAN mampu menjadi negara yang paling dominan mengingat 65 persen populasi ASEAN adalah warga Indonesia. Dalam ASEAN, Indonesia juga dapat mencapai prestasinya seiring dengan keberhasilan ASEAN dalam berbagai usaha resolusi konflik internasional, atau pembentukan program seperti Zone of Peace. Di lingkaran kedua, terdapat ASEAN+3 (Jepang, China dan Korea Selatan). Ketiga negara ini dinilai berpengaruh besar pada aktivitas diplomatik Indonesia karena ketiga negara ini dianggap sebagai negara-negara besar di Asia yang memiliki kemampuan mempuni dalam bidang ekonomi maupun pertahanan. Hubungan kuat antara Indonesia dan Cina sebagai contoh telah diperlihatkan sejak era Orde Baru dimana hubungan ekonomi diantara Cina dan Indonesia semakin kuat seiring dengan adanya kebutuhan Indonesia untuk mendapatkan bantuan ekonomi dalam upaya pembangunan nasional. Kini, hubungan ekonomi antara Cina dan Indonesia diperlihatkan dengan adanya hubungan ekspor-impor. Selain ketiga negara tersebut, Indonesia juga diharapkan mampu menggalang kerjasama dengan negara superpower lainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di lingkaran ketiga, Indonesia memilih untuk menjalin kerjasama dengan like-minded developing country. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa persamaan ideologi mampu menjadi acuan bagi Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan negara lain yang memiliki ideologi yang sama dengan Indonesia. Contohnya ialah hubungan Indonesia dengan negara di Asia Afrika.
Hanzel (2013) juga menambahkan tiga lingkungan yang membentuk Politik Luar Negeri Indonesia, yakni ASEAN, Negara Barat, dan Gerakan Non Blok. Gerakan Non Blok merupakan gerakan yang dilakukan negara Asia Afrika yang berakar dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. Konferensi yang turut diprakarsai oleh Indonesia ini menjadi momentum penting bagi melejitnya peran Indonesia dalam tatanan internasional. Pasalnya, melalui gerakan ini, Indonesia mampu menancapkan prinsip bebas-aktif kepada negara Asia-Afrika untuk sama-sama memerangi kolonialisme. Keaktifan Indonesia dalam gerakan ini memang hanya terlihat jelas pada era pemerintahan Soekarno, sementara di era pemerintahan Soeharto, Indonesia terlihat mulai pasif dan condong pada negara Barat. Namun, perlu digarisbawahi bahwa posisi Indonesia pada era Soeharto bukan berarti memihak blok Barat, melainkan Indonesia memposisikan diri sebagai negara penerima bantuan negara Barat guna memenuhi kepentingan nasionalnya, yakni untuk memprioritaskan pembangunan nasional. Tak begitu saja meninggalkan ASEAN, Indonesia kemudian turut berperan aktif dalam World Trade Organization (WTO) dan APEC. Ketiga wilayah tersebut menggambarkan cita-cita yang ingin diraih Politik Luar Negeri Indonesia dan peran globalnya.
Faktor Determinan Politik Luar Negeri Indonesia
Pembentukan Politik Luar Negeri Indonesia dengan lingkaran konsentris yang telah ditetapkan, pengaplikasiannya bergantung pada faktor-faktor determinannya. Suryadinata (1998) menjelaskan bahwa wilayah Indonesia dan perannya di dunia internasional serta kapabilitas dalam bidang ekonomi, sumber daya, dan militer turut mempengaruhi praktik Politik Luar Negeri Indonesia. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan karena hal tersebut menyangkut pada kepentingan nasional Indonesia yang hendak dicapai melalui politik luar negerinya. Persepsi mengenai wilayah Indonesia yang sempat diperdebatkan di era awal kemerdekaan Republik Indonesia dianggap mempengaruhi ideologi Indonesia yang merupakan faktor determinan Politik Luar Negeri Indonesia yang pertama. Pada mulanya, Yamin membentuk istilah ‘Indonesia Raya’ yang merujuk pada wilayah Indonesia sesuai dengan era Kerajaan Majapahit. Namun, hal tersebut ditolak oleh Hatta yang menyatakan bahwa wilayah Hindia Belanda lebih tepat karena wilayah Kerajaan Majapahit dianggap mengandung unsur imperialistik yang dianggap bertolak belakang dengan kepercayaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (Suryadinata, 1998:8). Penerapan Hindia Belanda ini kemudian turut dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya untuk Kongres Amerika pada 17 Mei 1956 dengan menambahkan Irian Barat (Irian Jaya) sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Kemudian peranan Indonesia dalam menghadapi isu-isu internasional juga dapat mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Dalam artikel Suryadinata (1998), Soekarno menyatakan bahwa Indonesia adalah negara penting yang harusnya menjadi pemimpin bagi negara-negara di Asia-Afrika. Namun, dalam masa kepemimpinan Soekarno, Indonesia dinilai tidak terlalu memperhatikan masalah-masalah internasional, melainkan hanya dalam lingkup regional saja. Akan tetapi, setelah jatuhnya Soekarno, Indonesia lebih memperhatikan masalah-masalah yang terjadi di internasional atau disebut dengan politik luar negeri berorientasi ke luar. Seperti misalnya usaha Indonesia dalam mendirikan ASEAN, keinginan untuk menjadi ketua Konferensi Gerakan Non-Blok, dan menjadi tuan rumah dalam peringatan ke-30 KAA.
Faktor kedua ialah kapabilitas yang dimiliki Indonesia untuk mencapai tujuan Politik Luar Negerinya. Dalam mencapai tujuan negara, tentu faktor-faktor seperti sumber daya, ekonomi, dan militer sangat berpengaruh. Sumber daya yang dimiliki Indonesia salah satunya ialah Sumber Daya Manusia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia. Akan tetapi, kualitas dari SDM itu sendiri sangatlah rendah. Oleh karena itu, perbaikan kualitas hidup dari penduduk yang ada di Indonesia itu sendiri perlu ditingkatkan agar Indonesia dapat memodernisasikan diri dengan cepat (Suryadinata, 1998). Dalam masa kepemimpinan Soeharto, perekonomian di Indonesia dinilai tidak cukup stabil. Hal tersebut dikarenakan devaluasi yang anjlok serta utang negara pada masa orde baru yang sangat tinggi mencapai $53,11 milyar. Pada saat itu, Indonesia menggantungkan pemasukannya melalui ekspor minyak tetapi meskipun begitu, persediaan minyak yang dimiliki Indonesia juga terbatas sehingga pemerintah Indonesia memutuskan untuk membangun energi nuklir demi terpenuhinya permintaan. Dan terakhir ialah militer. Kekuatan militer Indonesia sangat terbatas dan terbilang belum modern. Meskipun jumlah angkatan bersenjata di Indonesia merupakan yang terbesar diantara negara-negara ASEAN, namun perlengkapan militer yang dimiliki belum cukup memadai (Suryadinata, 1998).
Faktor lainnya yang juga dapat mempengaruhi Politik Luar Negeri Indonesia diantaranya ialah budaya politik dan elite politik luar negeri serta persepsi terhadap ancaman asing dan konsep kepulauan. Ancaman utama yang besar terhadap stabilitas politik Indonesia berasal dari luar, akan tetapi tergabtung dari persepsi mana kita menilai. Seperti misalnya pada masa Soeharto, ancaman asing lebih banyak berasal dari negara-negara Timur atau Komunis. Kemudian, Indonesia memiliki konsep kepulauan yakni “Nusantara”. Konsep kepulauan yang dianut Indonesia tersebut juga sangat mempengaruhi ancaman yang datang dari luar. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai pulau, tentu saja harus bisa menjaga wilayah perairannya. Konsep tersebut pernah ditentang oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Akan tetapi, pada akhirnya Indonesia mendapatkan persetujuan dari negara-negara tetangga ketika mengajukan Hukum Selat Kontinental pada tahun 1969 (Suryadinata, 1998).
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis kemudian menyimpulkan bahwa lingkaran konsentris Politik Luar Negeri Indonesia adalah merupakan sarana untuk mencapai kepentingan dimana dalam menjalankan hubungan luar negeri dilakukan pembagian secara regional. Dimana pelaksanaannya ialah mengacu pada analisis masalah-masalah internasional. Dalam mempengaruhi hubungan diplomatik dan aktivitas Politik Luar Negerinya, lingkaran konsentris yang diperlukan ialah letak wilayah geografis, ideologi, ekonomi, politik, dan keamanan. Wilayah yang berkaitan dengan lingkaran konsentris seperti ASEAN dan 3 negara lainnya yakni Jepang, China, dan Korea Selatan adalah negara-negara yang dapat mempengaruhi jalannya Politik Luar Negeri Indonesia. Dimana negara-negara tersebut berkontribusi dalam terwujudnya kepentingan Indonesia baik kepentingan politik, ekonomi, ideologi, maupun budaya. Dan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi jalannya stabilitas Politik Luar Negeri Indonesia seperti yang telah disebutkan diatas memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan Politik Luar Negeri Indonesia. Mengingat masih banyaknya kekurangan dan perlu adanya perbaikan dari masing-masing faktor demi kelancaran upaya untuk memaksimalkan aktivitas Politik Luar Negeri Indonesia agar mencapai kepentingannya.
Referensi :
Departemen Luar Negeri Indonesia. [internet]. 2013. Kebijakan Kerjasama Regional, tersedia di deplu.go.id diakses pada 16 Oktober 2013.
Hanzel, Matthew. 2013. The Three Spheres of Indonesia’s Foreign Policy, in Foreign Policy, The Study of International Relations.
Suryadinata, Leo, 1998. “Faktor-Faktor Determinan Politik Luar Negeri Indonesia: Mencari Penjelasan”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, [terj.], Jakarta, LP3ES, hlm. 7-27.
Wicaksana, Wahyu Gde. 2013. Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Perkuliahan SSI2 PLNRI Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tanggal 3 Oktober 2013.
0 komentar:
Posting Komentar